Apa Itu Kebijakan Zonasi Sekolah?
Kebijakan Zonasi Sekolah dan Kontroversinya – Kebijakan zonasi sekolah adalah sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) berdasarkan jarak tempat tinggal siswa ke sekolah, bukan semata-mata berdasarkan nilai akademik.
Kebijakan ini mulai diberlakukan secara nasional di Indonesia sejak 2017 melalui Permendikbud No. 17 Tahun 2017, yang kemudian diperbarui beberapa kali. Tujuannya adalah:
-
✅ Mengurangi kesenjangan kualitas pendidikan antar sekolah
-
✅ Mendorong pemerataan akses bagi siswa dari berbagai latar belakang
-
✅ Menghapus label “sekolah favorit”
Namun dalam pelaksanaannya, zonasi sekolah menuai banyak kontroversi—dari persoalan teknis hingga dampak sosial yang dirasakan masyarakat secara langsung.
Kebijakan Zonasi Sekolah dan Kontroversinya

Tujuan Mulia di Atas Kertas
Secara ideal, sistem zonasi mendorong setiap sekolah untuk meningkatkan kualitasnya sendiri, karena siswa akan tersebar merata sesuai wilayah tempat tinggal, bukan terkonsentrasi di sekolah unggulan saja.
Selain itu, sistem ini juga:
-
Mengurangi beban siswa dan orang tua yang sebelumnya harus mendaftar ke sekolah jauh dari rumah
-
Menumbuhkan keadilan sosial dalam akses pendidikan
-
Menghilangkan diskriminasi terhadap sekolah “biasa” yang sebelumnya dipandang sebelah mata
Kontroversi yang Mengemuka
⚠️ 1. Ketimpangan Kualitas Sekolah Tetap Nyata
Meski distribusi siswa diharapkan merata, kualitas tenaga pendidik, fasilitas, dan budaya belajar masih timpang antara sekolah satu dengan lainnya.
Akibatnya, siswa yang masuk ke sekolah “zona” terdekat merasa dirugikan karena tidak mendapatkan kualitas pendidikan terbaik, meskipun sebenarnya ia punya potensi tinggi.
🧭 2. Zona Wilayah yang Tidak Realistis
Banyak kasus menunjukkan bahwa garis zonasi tidak mempertimbangkan kondisi geografis nyata. Ada siswa yang lebih dekat secara jarak tapi masuk zona berbeda, dan akhirnya tidak bisa diterima.
Contoh nyata: siswa yang rumahnya hanya 1 km dari sekolah A, tapi karena administratif masuk kecamatan lain, justru tidak lolos.
🏠 3. Manipulasi Domisili
Tak sedikit orang tua yang memalsukan alamat tempat tinggal agar anaknya bisa masuk ke sekolah impian. Hal ini memunculkan praktik pindah Kartu Keluarga (KK) dadakan dan sewa alamat.
Akibatnya, sistem yang awalnya ingin adil justru menciptakan celah kecurangan baru.
📉 4. Siswa Berprestasi Tidak Tertampung
Dalam sistem zonasi murni, siswa yang memiliki nilai tinggi bisa gagal diterima jika tidak berada dalam zona terdekat. Hal ini memicu kekecewaan besar, terutama di keluarga yang sudah berjuang secara akademis.
Suara dari Lapangan: Pro dan Kontra
“Tujuan pemerataan itu bagus, tapi harus disertai pemerataan fasilitas dan guru. Kalau nggak, ya tetap aja sekolah favorit menang.”
— Pak Arief, Guru SMA di Semarang
“Anak saya ranking 1 tapi nggak diterima karena beda RT. Sakit hati sekali.”
— Ibu Lilis, Orang Tua Siswa
“Dengan zonasi, sekolah saya yang dulu sepi sekarang ramai. Tapi kami belum siap infrastruktur dan guru tambahan.”
— Kepala Sekolah SMP Negeri di Malang
Upaya Perbaikan Pemerintah
Pemerintah sudah berupaya menyempurnakan sistem zonasi dengan membuka jalur alternatif dalam PPDB, yaitu:
-
Jalur Prestasi (maks. 30%)
Untuk siswa dengan nilai akademik/non-akademik yang tinggi -
Jalur Afirmasi (maks. 15%)
Untuk siswa dari keluarga kurang mampu atau penyandang disabilitas -
Jalur Perpindahan Tugas Orang Tua (maks. 5%)
Namun dalam praktiknya, kuota zonasi masih mendominasi (minimal 50%), sehingga kontroversi tetap muncul setiap tahun ajaran baru.
Dampak Jangka Panjang
Dampak Positif | Dampak Negatif |
---|---|
Pemerataan siswa antar sekolah | Ketimpangan kualitas sekolah makin terasa |
Dekatkan akses pendidikan | Zona wilayah kadang tidak logis |
Reduksi stigma “sekolah unggulan” | Prestasi tinggi bisa tidak dihargai |
Potensi memperkuat sekolah lokal | Celah untuk manipulasi domisili |
Apakah Ada Solusi Alternatif?
Banyak ahli pendidikan dan aktivis mengusulkan berbagai pendekatan sebagai penyempurnaan dari sistem zonasi:
✅ 1. Kombinasi Zonasi dan Skor Akademik
Menggabungkan pertimbangan nilai dan lokasi tempat tinggal agar tetap adil bagi siswa berprestasi.
✅ 2. Evaluasi Rutin Tiap Daerah
Karena kondisi geografis dan kualitas sekolah berbeda-beda, zona seharusnya fleksibel per daerah, bukan nasional.
✅ 3. Investasi Pemerataan Kualitas Sekolah
Tanpa pembenahan fasilitas dan SDM, sistem zonasi hanya akan memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya.
✅ 4. Transparansi Data dan Pengawasan Ketat
Penguatan sistem pengawasan domisili agar tidak ada manipulasi, serta publikasi data penerimaan secara terbuka.
Kesimpulan
Kebijakan zonasi sekolah dan kontroversinya menunjukkan bahwa pemerataan akses pendidikan bukan perkara mudah. Niat baik pemerintah perlu diimbangi dengan pelaksanaan yang matang, data yang akurat, serta partisipasi masyarakat yang jujur.
Di masa depan, sistem zonasi bisa menjadi solusi jangka panjang asal dibarengi dengan pemerataan kualitas sekolah, perbaikan infrastruktur, dan sistem penerimaan yang lebih fleksibel.
Karena pada akhirnya, pendidikan yang adil bukan hanya tentang lokasi tempat tinggal—tetapi tentang kesempatan yang setara bagi semua anak untuk tumbuh dan berkembang.